STUDI
KASUS TENTANG KASUS SUSU FORMULA DAN HAK KONSUMEN ATAS KEAMANAN PANGAN
TUGAS
INDIVIDUAL
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
Hukum
Perlindungan Konsumen
Disusun Oleh:
LULU
AINUN NIKMAH
NIM :C02209063
Dosen Pembimbing:
Nafi’
Mubarok, SH., M.HI.
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kehadiran
UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 merupakan bukti dari kinerja
pemerintah dalam menggerakkan perangkatnya untuk melindungi serta memenuhi
hak-hak seorang konsumen. Misalnya, seorang penjual/pelaku usaha wajib
menunjukkan harga barang yang ia jual kepada pembeli/konsumen dan memberikan
informasi yang akurat dalam proses jual beli berlangsung. Sebab, seorang
konsumen wajib menjamin hak-hak konsumen, diantaranya : hak atas kenyamanan,
keselamatan, keamanan dalam mengonsumsi barang atau memakai jasa yang di
tawarkan oleh pelaku usaha. Kita, sebagai konsumen patut bersyukur atas
hadirnya UU Perlindungan Konsumen, dengan begitu konsumen mendapatkan
perlindungan atas apa saja yang di alami oleh konsumen, yang mengakibatkan
kerugian, ketidaknyamanan bahkan ancaman keselamatan.
Zaman
sekarang ini, banyak pelaku usaha/produsen yang tidak mementingkan bahkan tidak
mengutamakan kesehatan maupun keselamatan konsumennya. Contohnya, maraknya
makanan dan minuman kadaluarsa yang terdapat di tempat perbelanjaan. Kemudian,
produk-produk susu atau makanan yang mengandung bahan kimia yang dapat merusak
peredaran darah dalam tubuh dan mengakibatkan kematian. Dari kejadian tersebut,
jelas pihak yang sangat di rugikan adalah konsumen. Hal itu dapat terjadi,
dikarenakan kurangnya pengawasan pemerintah serta care intensive pemerintah
tidak ada atau tidak mendapatkan perhatian yang lebih. Untuk lebih jelasnya,
akan di lanjutkan di Bab selanjutnya (Bab Posisi Kasus), dimana ada artikel
yang membahas tentang kasus-kasus yang marak terjadi di Indonesia tentang
masalah perlindungan komsumen ini.
BAB
II
POSISI
KASUS
Sebelum
masuk ke posisi kasus, akan saya paparkan artikel yang mengungkapkan dan
menuliskan tentang kasus perlindungan konsumen yang ada di Indonesia. Sebagai
berikut :
Kontroversi tentang susu formula yang
diketahui terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii sebenarnya sudah
terungkap pada 2008. Kasus ini kembali mencuat setelah gugatan David
Tobing—konsumen susu formula bayi—terhadap Institut Pertanian Bogor (IPB)
dikabulkan Mahkamah Agung. Dalam gugatannya, atas nama hukum, David Tobing
menuntut IPB sebagai pihak yang meneliti, mengumumkan merek susu formula yang
terkontaminasi bakteri kepada publik. IPB meneliti 22 sampel susu formula dan
15 sampel makanan bayi produksi 2003-2006. Hasilnya, 22,73 persen sampel susu
formula dan 40 persen sampel makanan bayi positif terkontaminasi bakteri Enterobacter
sakazakii yang bisa membahayakan kesehatan bayi. Hasil penelitian diumumkan
pada Februari 2008 tanpa menyebutkan merek produk yang terkontaminasi.
Meski Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa konsumen
berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang
dan/atau jasa, peristiwa seperti ini sudah berulang terjadi. Masyarakat sering
dihebohkan dengan temuan zat kimia berbahaya, seperti formalin dan boraks,
sebagai bahan pengawet makanan. Namun, tanggapan pemerintah cenderung reaktif. Oleh
karena itu, ke depan perlu ditemukan cara yang semestinya dilakukan oleh semua
komponen masyarakat agar tidak selalu heboh sesaat begitu ada kejadian, lantas
masuk peti es. Jika membahayakan, harus ditarik dari peredaran. Pemerintah
harus bertindak cepat menuntaskan kasus keamanan pangan seperti susu formula
yang terkontaminasi ini. Pertama, adalah tugas pemerintah memberikan rasa aman
kepada konsumen. Kedua, melindungi produsen pangan yang jujur agar tidak
bangkrut. Ketiga, penegakan hukum. Pasal 47 PP No 28/2004 tentang Keamanan,
Mutu, dan Gizi Pangan menyebutkan, jika produk pangan membahayakan kesehatan dan
jiwa manusia harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Langkah penegakan
hukum ini menjadi kata kunci agar kasus-kasus serupa tidak terulang pada masa
mendatang.
Di sisi lain, kasus ini
bisa menjadi momentum awal kampanye nasional gerakan ibu menyusui. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), kini
tinggal 61 persen ibu yang mau menyusui bayinya selama empat bulan dan hanya 35
persen yang menyusui hingga enam bulan.
Sumber :
Penulis : Toto Subandriyo, di
tulis di Harian Kompas. Dan di posting pada tanggal 22 Februari 2011, sumber artikelnya : http://www.livestockreview.com/2011/02/kasus-susu-formula-dan-hak-konsumen-atas-keamanan-pangan/,
diakses pada 11 November 2012.
Posisi Kasus :
Kasus
ini tentang perlindungan hukum terhadap konsumen yang merasa di rugikan oleh
pelaku usaha yang merugikan untuk konsumen dan telah melakukan perbuatan
melanggar hukum. Dimana, kasus posisinya adalah sebagai berikut :
Konsumen
yang bernama David Tobing (Konsumen Susu Formula Bayi) melayangkan surat
gugatan kepada Institut Pertanian Bogor (IPB) dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung. David
Tobing menuntut kepada IPB (Pihak yang meneliti susu bayi) untuk mengumumkan
merek susu formula yang terkontaminasi bakteri kepada publik. Masalahnya, hasil
penelitian yang diumumkan oleh Peneliti dari IPB pada Februari 2008 tidak
menyebutkan merek produk yang terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii.
Padahal, hak konsumen adalah memperoleh informasi dalam penggunaan barang yang
di konsumsi agar terjamin kesehatan serta keselamatan nyawa konsumen.
BAB III
LANDASAN TEORI
Dalam
Bab ini akan di jelaskan teori-teori apa saja yang memiliki keterkaitan yang
erat dengan kasus di atas :
1. Pelanggaran yang di lakukan oleh IPB (Peneliti Susu Bayi) yang
terkena bakteri :
a.
Rusak, cacat
atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar. Termuat dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen
tentang Hak-hak konsumen : Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang/jasa.”. Point ini
menjelaskan bahwa seorang Peneliti yang dalam hal ini adalah Peneliti dari IPB
harus memberikan informasi yang lengkap tentang mana produk susu yang terkena
virus bakteri dan mana produk susu yang tidak terkena virus bakteri, agar
konsumen tidak keliru dalam memilih produk susu, sebab sekarang ini banyak
sekali varian produk susu yang di tawarkan di Pasar Indonesia.
b.
Menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu
dan tidak mengandung cacat tersembunyi. Point ini menjelaskan bahwa Peneliti
dari IPB seolah-olah menutupi kecacatan suatu produk (dengan tidak mengabarkan
pada publik) tentang mana-mana saja produk susu bayi yang berbahaya untuk di
konsumsi bahkan untuk di perjual belikan.
c.
Kerugian materi
atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak sempurnanya produk.
Point ini menjelaskan bahwa produk susu bayi yang tidak diketahui apakah
mengandung bakteri yang mematikan atau tidak menyulitkan konsumen untuk
membeda-bedakan dengan produk susu bayi yang sama sekali tidak mengandung
bakteri yang berbahaya. Jika konsumen salah pilih, maka nyawa yang menjadi
ancaman bagi para konsumen khususnya Balita atau Bayi.
d.
Setiap orang
yang memasang merek, nama, atau memberi tanda khusus harus mencantumkan pembeda
produknya dengan produk orang lain yang dianggap cacat dan membahayakan jiwa orang
lain (konsumen). Point ini menjelaskan bahwa pentingnya mengumumkan bahwa
produk yang layak untuk di konsumsi itu yang mana dan mana produk yang harus di
tarik dari peredaran pasar. Sebab, jika di biarkan bisa-bisa konsumen
meninggal, apalagi Bayi.
e. IPB (Peneliti Susu Bayi) tidak
memperhatikan Pasal 2 dalam UU Perlindungan Konsumen, yaitu : Asas keamanan dan
keselamatan konsumen. Asas ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.“. Pasal diatas jelas, memberikan perlindungan kepada
konsumen. Sebab, keamanan konsumen sangat di butuhkan, mengingat produk susu
bayi yang banyak serta keselamatan konsumen dalam mengonsumsi susu bayi harus
di perhatikan dengan cara mengumumkan mana-mana saja produk susu bayi yang
dilarang untuk di konsumsi.
2.
Pelanggaran
yang di lakukan oleh IPB (Peneliti Susu Bayi) yang terkena Bakteri menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
a.
Pasal 204 ayat
(1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan, menerimakan, atau
membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya
bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itu didiamkannya
dihukum pernjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Ayat (2) dalam pasal ini
menentukan : “Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu si tersalah
dihukum penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”
b.
Pasal 205 ayat
(1) KUHPidana menyatakan : “Barangsiapa
karena salahnya menyebabkan barang yang
berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan atau
dibagi-bagikan , sedang si pembeli atau
yang memperolehnya tidak mengetahui akan
sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau kurungan sel`ma-lamanya enam bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat
ribu lima ratus rupiah).”
Penjelasan dari kedua Pasal
tersebut : Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan adalah jika pelaku usaha
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut,
sedang pelaku usaha itu mengetahui dan menyadari bahwa barang-barang itu
berbahaya bagi jiwa atau kesehatan si
pemakai barang dimana pihak pelaku usaha (produsen) tidak mengatakan atau
menjelaskan tentang sifat bahaya dari barang-barang tersebut, tapi jika pelaku
usaha yang akan menjual barang yang berbahaya bagi jiwa
dan kesehatan, mengatakan terus terang kepada konsumen tentang sifat berbahaya
itu maka tidak dikenakan pasal ini dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
hal
ini tercantum dalam pasal 18.
Barang-barang yang termasuk dalam pasal 204 dan 205 KUHPidana tersebut misalnya
makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak, cat rambut, cat bibir dan sebagainya.
c.
Pasal 386 ayat (1)
menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau
minuman atau obat, sedang diketahuinya bahwa barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjara selama
lamanya empat tahun.”
Dan ayat (2) dari pasal ini menyebutkan : “Barang
makanan atau minuman
atau obat itu dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi kurang sebab
sudah dicampuri dengan zat-zat lain”.
Penjelasan dari kedua pasal
tersebut : Pasal 386 adanya perbuatan yang
dilakukan oleh penjual dengan menjual barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak
penjual. Misalnya penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan
cara membuat barang lain yang hampir serupa.
d.
Pasal 1365
KUHPerdata merumuskan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak hany`
untuk kerugian yang ditimbulkan oleh
perbuatannya tapi juga disebabkan oleh kelalaiannya.”
Penjelasan dari Pasal diatas :
Maka IPB sebagai peneliti susu bayi tersebut wajib bertanggung jawab atas yang
dialami oleh konsumen (kerugian) yang ditimbulkan akibat kesalahannya dalam
menyembunyikan produk susu bayi tersebut kepada publik. Baik itu kerugian
karena perbuatannya maupun kelalaiannya.
BAB
IV
ANALISA
Dari hasil
penggambaran landasan teori yang berkaitan dengan posisi kasus diatas, maka
dapat di jelaskan beberapa analisa yang mendalam, antara lain :
1.
David Tobing
melayangkan surat gugatan kepada Pihak Peneliti (IPB) dan di terima serta di
kabulkan oleh Mahkamah Agung, merupakan bukti bahwa hak dari seorang konsumen
tercapai, yaitu : Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut (Pasal 4 UUPK).
2.
Kasus ini wajib
di teruskan, karena mempertaruhkan keselamatan, keamanan, serta kenyamanan
konsumen (UUPK Pasal 2). Apalagi kalangan Bayi yang masih butuh perhatian
khusus demi tumbuh kembangnya.
3.
Tidak
menyebutkan merek apa saja yang terkontaminasi oleh bakteri yang membahayakan
tersebut merupakan pelanggaran yang di lakukan oleh IPB dalam hal ini. Padahal,
produsen atau pihak manapun yang bertanggung jawab atas suatu produk wajib
memberitahukan tentang informasi barang/jasa tersebut ke masyarakat luas (Pasal
4 UU Perlindungan Konsumen tentang Hak-hak konsumen : Hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.”),
sebab konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang tepat dan akurat
tentang produk yang sedang maraknya dilakukan penipuan.
4.
Pemerintah harus bertindak
cepat menuntaskan kasus keamanan pangan seperti susu formula yang
terkontaminasi oleh bakteri yang membahayakan tersebut. Tugas pemerintah adalah
memberikan rasa aman kepada konsumen. Dengan mereview kembali semua
produk-produk yang tengah di pasarkan, serta pentingnya pengecekan kelayakan
standarisasi produk terutama mengenai label makanan atau minuman (Di muat dalam
: Pasal 8 UUPK tentang perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha, dalam hal ini
berkaitan dengan : Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang
tertentu. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
mestinya pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Tidak memasang label
atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi
bersih(netto), komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat. Tidak mencantumkan informasi atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.)
5.
Kurang pekanya
pengawasan serta control pemerintah dalam hal pergerakan barang dan jasa yang
akan meresahkan konsumen. Sebab, pemerintah wajib menegakkan hukum tentang
keamanan, mutu, gizi pangan. Jika, ada produk yang membahayakan kesehatan jiwa
konsumen yang dalam hal ini adalah bayi maka harus ditarik dari peredaran dan
harus di musnahkan. Karena, tentang perlindungan konsumen bukan hanya berkutat
pada UUPK melainkan aspek hukum, diantaranya yaitu aspek Hukum Administrasi
negara, dimana kendali pemerintah sangat kuat terhadap perlindungan konsumen.
Tugasnya, adalah regulation, dimana membuat peraturan baru terhadap hak-hak konsumen, misalnya : membuat
sejumlah peraturan yang harus ditaati oleh pelaku usaha (penggunaan bahan baku,
tahapan produksi, pengemasan barang, promosi, periklanan, serta harga)
6.
Pemerintah
wajib memperhatikan kesehatan konsumen apabila mengalami kerugian dengan contoh
ancaman bahaya dalam jiwa. Sebab, Pasal 47 PP No 28/2004 tentang
Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan menyebutkan, jika produk pangan membahayakan
kesehatan dan jiwa manusia harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Dengan
begitu, semoga tidak ada lagi kasus-kasus tentang penipuan makanan, rekayasa
produk dan lain-lainnya. Konsumen berhak dalam menuntut keamana dalam hal
pangan.
7.
Pemerintah perlu bergerak
cepat dan memberikan sanksi administratif (teguran/peringatan, denda, dan
pencabutan izin usaha) bagi pelaku usaha dikarenakan maraknya rekayasa makanan
yang dapat memberikan dampak buruk bagi konsumen.
8.
Menjadi kekhawatiran
bersama terutama Kaum Ibu Menyusui yang mengalami dilema dalam pemilihan produk
susu formula bagi buah hati mereka. Dan ini, harus menjadi perhatian bagi
pemerintah sebagai pemegang kendali dalam rangka perlindungan konsumen, mengingat
pemerintah mempunyai tiga fungsi dalam menegakkan hak-hak konsumen dan
melindungi keselamatan konsumen, yaitu : Regulation, Punishment dan Controlling.
BAB V
PENUTUP
Hingga saat ini
perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering
kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Dalam
hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan.
Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen
harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak
adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen. Pemerintah
seyogyanya menetapkan Undang-Undang yang tegas dan jelas. Pemerintah memang
sudah membuat beberapa Undang-Undang yang membahas masalah yang sama
sebelumnya. Namun hingga saat ini Undang-Undang tersebut belum berjalan dengan
efektif. Maka, sebaiknya pemerintah kembali memperbaharui atau merevisi Undang-Undang
tersebut.
Sanksi sangatlah di
butuhkan. Menetapkan sanksi yang tegas. Selama ini pun pemerintah sudah membuat
sanksi atas pelanggaran terhadap UU mengenai undang-undang terhadap
perlindungan konsumen namun hingga saat ini sanksi tersebut belum diterapkan
secara nyata dan tegas sehingga belum mampu menyebabkan efek jera pada setiap
pelanggar. Hal ini akan diharapkan akan mengurangi kemungkinan sebuah
perusahaan melakukan kecurangan dalam produksi. Dalam berbagai kasus,
perlindungan konsumen dilanggar dengan cara menjual barang-barang
kadaluwarsa yang sudah tidak layak dikonsumsi tanpa sepengetahuan konsumen,
ada yang mencampur adukkan makanan dengan zat-zat kimi yang dapat membahayakan
kesehatan, penipuan label dalam kemasan produk, pemalsuan produk dan menutupi
kebohongan produk dengan tidak memberikan informasi ke masyarakat luas. Oleh
karena itu pemerintah beserta badan hukum yang bertugas dan lebih mengerti
masalah ini seharusnya lebih intens dan peduli dengan masalah perlindungan
konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar