Mata enggan berkedip jikalau memandang rerumputan hijau nan
indah dihamparan padang. Sore itu perempuan berumur sepuluh tahun tengah asyik
bercanda ria bersama bisikan angin yang kerap kali mengganggu matanya yang
sayu. Mata yang tak mampu lagi menahan kantuk yang luar biasa. Siang itu,
rupanya ia tengah menggembalakan kambing kakeknya. Setiap hari ia
menggembalakan kambing kakeknya, tak mengenal lelah, letih, dan capek. Dia
bahkan tak memperdulikan peluh yang membasahi pipinya. Perempuan seumurnya
seharusnya berada dirumah, melakukan pekerjaan yang biasa perempuan kerjakan.
Misalnya, mencuci, memasak, menyapu rumah atau mengepel rumah. Tapi, tidak
untuk perempuan berlesung pipi ini. Baginya, tak ada perbedaan. Ia biasa
mengerjakan pekerjaan yang berat-berat tanpa memikirkan apakah itu pekerjaan
seorang laki-laki ataukah perempuan.
Sama halnya dengan menggembala kambing. Hampir teman sesama
gembala kambingnya semuanya laki-laki. Diantara penggembala yang ada di desanya
hanya dia yang perempuan. Tapi, ia tak mau pusing dengan hal itu, yang
terpenting baginya adalah dapat meringankan beban kakeknya. Baginya, orang yang
dia miliki didunia ini hanyalah kakeknya. Karena, sejak kecil ia sudah dirawat,
diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya. Pernah sekali ia menanyakan keberadaan
Orang Tuanya, dan kakek dengan santai menjawab “Orang
Tuamu lama telah tiada sejak kamu berumur lima tahun”.
Sejak saat itu, ia tak lagi memikirkan Orang Tuanya entah orang tuanya masih
hidup ataukah meninggal dan ia hanya memiliki seorang kakek yang sudah tua
renta yang sangat baik kepadanya. Ia menyadari bahwa kakeknya kini sudah
semakin tua, tak mampu lagi untuk bekerja yang berat-berat dan sekarang kakeknya
pun sering sakit-sakitan.
Hari
sudah hampir petang, kini ia harus kembali ke rumah dengan beberapa ekor
kambingnya setelah seharian penuh kambingnya menyantap habis rerumputan. Butuh
waktu lima belas menit ia sampai ke gubug sederhananya. Dengan langkah gontai
ia sampai ke gubug sederhananya dengan didampingi oleh kambing-kambing piaraan
kakeknya. “Kakek,
aku pulang”.
Suara nya memecah kesunyian yang tercipta di gubug tua nan kecil. Meskipun
kecil tetapi, gubug itu terlihat indah dan damai. Tidak ada keramaian yang
mengganggu hati dan pikiran dan jauh dari polusi udara. Semua serba alami dan
asri. Disampingnya dikelilingi oleh rerumputan hijau yang menjalar mengikuti
arah pagar sehingga pagar yang tadinya berasal dari pagar bambu kini berubah
menjadi pagar yang ditumbuhi oleh macam-macam tumbuhan. Disebelah kanan,
terdapat kebun sayuran. Kakeknya, gemar sekali berkebun. Ditanami beberapa sayuran,
seperti tomat, kangkung, sawi, wortel, kol, cabe, timun dan segala macam jenis
sayuran. Sebelah kiri terdapat pohon pisang yang sangat subur. Pohon pisangnya
banyak yang berbuah dan kelihatannya ada yang matang dan sudah hampir
menguning. Benar-benar surga. Meskipun sederhana tapi menyejukkan hati bagi
yang memandang.
Teriakannya
belum juga ada jawaban dari dalam gubug. “Kakek?? Kakek dimana???”
kembali ia memanggil kakeknya, dan mengintip dari balik dinding jerami yang
dianyam. Tiba-tiba kakeknya mengagetkan dari belakang, “Cucu
kakek, sudah balik ternyata”. Tersontak ia langsung mengernyitkan
dahinya “Aaahh,,kakek
bikin orang kaget saja. Aku sudah sepuluh menit yang lalu. Kakek kemana saja??” tanya
nya. “Kakek,
baru saja dari tetangga sebelah. Kakek merasa kesepian dirumah nggak ada
kerjaan. Jadi, kakek iseng saja main ke rumahnya Pak Suryo. Alhamdulillah, pak
Suryo menjamu kakek dengan segelas kopi hangat dan dua potong pisang goreng”
jawabnya dengan panjang lebar. “Nayla sudah makan??”
dengan cepat menambah pertanyaannya.
Yaaa..Nayla.
itulah namanya. Nama yang diberi oleh kakeknya. Perempuan tegar yang selalu
menikmati hidupnya dengan penuh kebahagiaan dan selalu menebarkan senyum, walau
ia tahu keadaannya sangatlah terpuruk, tetapi ia tetap bersyukur kepada Allah,
bahwa ia masih diberikan kesehatan, kekuatan untuk menjalani kehidupannya dan
membantu kakeknya.
“Nay
belum makan kek..laper nihh..” celetuk Nayla pada kakeknya. “Ya
sudah, ayo masuk. Kakek udah masak sayur bening dan ikan bandeng goreng kok
tadi sore. Alhamdulillah masih hangat kok. Apa mau kakek ambilkan??”
itulah wujud perhatian kakeknya pada cucu semata wayangnya itu. Setiap hari
Nayla selalu dilayani oleh kakeknya setiap ia pulang dari tempat gembala kambing.
“Nggak
usah kek, Nayla bisa sendiri kok..” jawab Nayla lirih, padahal
sebenarnya ia juga merasa kelelahan karena berjalan selama lima belas menit
dengan melewati sungai dan naik turun bukit kecil. Perjalanan yang melelahkan. “Nggak
usah Nay, biar kakek aja. Kamu duduk manis saja di situ, sekalian kakek buatkan
teh hangat ya buat kamu” dengan nada rendah kakeknya menasihati
Nayla. “Iya
kek..”
Sayur
yang dihidangkan oleh kakeknya begitu lezat dan membuat Nayla ketagihan. Dia
tidak menyangka, semakin lama kakeknya semakin jago dalam memasak. Bahkan ia
pun tak bisa membuat sayur seenak dan segurih buatan kakeknya. “Hmmm..lezat
kek. Enak banget sayurnya” dengan senyum yang merekah ia memuji
masakan kakeknya. “Siapa dulu Haris....!!”.
melihat gaya kakeknya ia, merasa kakeknya menjadi lebih muda dengan semangat
muda yang berkobar-kobar. Malam itu, ia bisa melihat senyum keberkahan yang
terlukis diwajah kisut kakeknya. Sudah lama ia tak melihat senyum dan tawa
kecil yang menghiasi gundukan dahinya yang tersusun indah saat ia marah.
Tetapi, hari ini semuanya sirna, berubah menjadi terlihat indah, semu tapi
nyata dan tak pernah terbayangkan sebelumnya.
*******
Nayla...Nayla...Nayla...Ayo
bangun. Terdengar suara lantang dari sudut ruangan tepat disebelah tempat
tidurnya. Suara kakeknya terdengar jelas ditelinga Nayla. Tetapi, apalah daya
Nayla tak mampu menjawab sahutan itu, karena rasa sakit yang ia alami.
Benar-benar sakit sampai menyentuh tulangnya, hingga keringat dingin mulai
mengucur sekujur tubuhnya. Kini ia tak mampu lagi membendung rasa sakit yang ia
rasakan. Suara itu makin lama makin terdengar nyaring didekat sudut kamar
Nayla. Itu pertanda Pak Haris kakek Nayla, datang menuju kamar Nayla untuk
membangunkan Nayla. “Ayo bangun Nayla, ini sudah hamp.......” belum
selesai Pak Haris melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba ia menunduk dan segera
menghampiri Nayla yang tengah sibuk memijit-mijit kaki kirinya.
Airmata
yang ada diujung mata kakeknya, ia tahan agar tak menyiksa bathin cucu yang
sangat disayanginya itu. Ia merasa terpukul, melihat cucu yang cantik jelita
harus menanggung cobaan yang sedemikian beratnya. Nayla, memang cantik, baik
hati, bermata sipit, berambut panjang hitam pekat, dan sangat pintar. Tetapi, setiap
manusia pasti memiliki kekurangan, dan kekurangan yang dimiliki oleh Nayla
adalah kaki kiri yang tak sempurna. Kecelakaan lima tahun silam, mengharuskan
Nayla untuk mengikhlaskan kakinya diamputasi. Menurut cerita kakeknya, Orang
Tuanya meninggal ditempat kejadian dan ia terjepit ditengah-tengah ban mobil
dan mengenai kaki kirinya, hingga terpaksa harus diamputasi. Semangat hidup
yang ia tanamkan pada dirinya selalu menyertainya disetiap langkah kecilnya.
Langkah pasti yang ia ayunkan selalu membawa kebahagiaan dihati kakeknya.
Pantang menyerah yang dimilikinya itulah yang membuat kakeknya merasa bangga
dan semangat menjalani hidup bersama cucunya itu dan berjuang hidup lebih lama
lagi bersama cucunya, berharap ia bisa menemani cucunya selamanya.
Meskipun
Nayla, saat menggembalakan kambing kakeknya, hanya bertumpu pada tongkat, namun
ia masih saja kuat untuk berjalan dan menemani kambing-kambing yang terkadang
nakal. Ia sudah terbiasa dengan perjalanan yang harus menghabiskan tenaganya
untuk tetap kuat menuntun kambingnya menuju padang rumput, dan ia menikmati
perjalanannya itu sebagai anugerah, karena ia bersyukur masih diberikan tenaga
dan umur yang panjang untuk bisa menikmati dan mensyukuri atas nikmat Allah. “Kakek,
kaki Nayla terasa sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk sampai ke tulang”
dengan nada datar ia mencoba menahan rasa sakitnya dengan sedikit nada meringis
kesakitan. “Sabar
ya nak. Kakek panggilkan dulu Pak Suryo. Kamu tahan sebentar ya...”.
Dengan
langkah yang gontai, Pak Haris berlari menuju rumah Pak Suryo. Pak Suryo,
selain teman ngobrol kakek Nayla setiap harinya, pak Suryo juga adalah seorang
dokter atau mantri yang ada di desa itu. Kira-kira dua puluh menit berlalu, pak
Suryo dan Pak Haris tiba dirumah dan segera menemui Nayla yang sudah tidak kuat
menahan rasa sakit yang dideritanya. “Sepertinya, Nayla mengalami
alergi pak. Kakinya yang sudah diamputasi sudah tidak steril lagi, sudah banyak
kuman yang masuk dan menggerogoti tulangnya, kalau tidak dibersihkan bisa-bisa
tulangnya membengkak Pak” dengan nada khawatir Pak Suryo menuturkan
ke Nayla dan Pak Haris.
“Terus,
saya harus bagaimana pak Suryo??? Supaya cucu saya tidak merasa kesakitan
lagi??”
tambah khawatir kakeknya, setelah mendengarkan penuturan dari Pak Suryo. “Saya
harus membersihkan dulu kaki Nayla, supaya steril dan memberikan beberapa obat
tablet yang harus Nayla minum setiap hari untuk menghilangkan rasa sakit”. Hati
Pak Haris menjadi tenang, karena kaki Nayla akan diobati secepatnya oleh Pak
Suryo. Dalam hati Pak Haris berterima kasih kepada Allah, bahwa ia sangat
beruntung memiliki tetangga yang baik hati seperti Pak Suryo, dan ia sujud
syukur bahwa cucunya dalam keadaan baik-baik saja. Semoga setelah kakinya di
obati, rasa sakit yang diderita Nayla berkurang bahkan hilang. Sekitar setengah
jam, pak Suryo membersihkan luka yang ada dibagian kaki Nayla, dan mengganti
perban yang baru, karena perban yang lama sudah kotor dan hal itulah yang
membuat tulang Nayla menjadi terinfeksi.
Setelah
itu, Pak Suryo memberikan perban dan beberapa obat untuk Nayla dan semuanya itu
dengan cuma-cuma beliau berikan kepada Pak Haris dan Nayla. Lagi-lagi pak Haris
berterima kasih kepada pak Suryo, karena sudah banyak membantu.
“Udah
lumayan nggak sakit kan??” tanya kakeknya dengan perasaan
harap-harap cemas pada cucunya. “Sudah nggak kok kek. Alhamdulillah, kaki
Nayla sudah agak enakkan sekarang, nggak seperti yang tadi-tadi. Kek, pak Suryo
baik sekali ya sama kita??” matanya berkaca-kaca mulai terlihat
diwajah kecilnya. “Iya Nay. Pak Suryo adalah orang yang dikirim
oleh Allah untuk kita. Karena, Allah tak akan membiarkan hamba-Nya sedih dan
dirundung duka, asalkan hamba-Nya tersebut tetap istiqamah di jalan-Nya dan
selalu berdo’a serta ikhtiar”
suaranya terengah-engah karena, ia tak mampu menahan isak tangis yang hampir
keluar dari matanya, tetapi semampunya ia menahan agar tak membuat hati cucunya
sedih.
“Kakek
salut padamu Nay. Kamu tegar menjalani hidupmu yang memiliki keterbatasan untuk
berjalan, jalan saja kamu masih meminta bantuan pada tongkat. Tetapi, kakek
bangga padamu. Kamu selalu belajar mandiri, dan kamu bisa melakukannya sendiri
tanpa meminta bantuan orang lain” tambahnya. “Iya
kek. Sejak kecil aku sudah diajari untuk mandiri dalam melakukan hal apa saja
kan oleh kakek??. Kakek yang mengajarkan
hal itu padaku, hingga aku tumbuh besar seperti ini pun tak pernah
sedikitpun untuk mengeluh dan meminta ini dan itu pada kakek. Karena, aku iri
pada kakek. Kakek, sudah tua tetapi tetap mampu melakukan aktifitas yang tiada
hentinya, sedangkan aku perempuan belia berumur sepuluh tahun masak kalah
dengan tenaga seorang kakek berumur tujuh puluh dua tahun. Satu hal yang
membuat aku bertahan untuk hidup meskipun dengan keterbatasanku. Aku meyakini,
bahwa kaki yang sebelah kiri tak berfungsi dengan baik, tetapi aku punya kedua
tangan lengkap yang bisa berfungsi, jadi untuk apa aku mengeluh karena aku
masih diberi tangan untuk bisa bekerja untuk membantu meringkankan kakiku, toh
kakiku hanya sebelah kiri yang patah” dengan
semangat ia menjelaskannya pada kakeknya. Kakeknya hanya bisa mengelus dada,
berharap nantinya ia bisa melihat cucunya bahagia dan bisa mendapatkan
kebahagiaan yang hakiki. Karena, tak banyak sosok seorang manusia, yang tetap
tegar menjalani hidupnya yang bergantung pada sebuah tongkat.
Memang
seperti itulah memaknai arti kehidupan. Semua manusia diberi kelemahan dan
kelebihan dalam dirinya, tinggal bagaimana manusia itu mampu menutupi
kekurangannya dengan kelebihan yang ia miliki, dan menggunakan kelebihannya itu
untuk hal-hal yang benar dan tidak digunakan untuk kebahagiaan duniawi yang
sesaat dan menghanyutkan. Seharusnya, kita sebagai manusia yang hampir
sempurna, dengan memiliki kaki yang lengkap, tangan yang lengkap, mata yang
sehat serta pendengaran yang baik, seharusnya pandai bersyukur dan tidak
bermalas-malasan untuk bekerja, menuntut ilmu, dan melakukan hal-hal positif
yang bisa kita lakukan. Merugilah bagi orang-orang yang tak mau mensyukuri
nikmat dari Allah. Karena, masih banyak saudara-saudara kita yang tangannya tak
sempurna, tetpai masih tetapi menjalani aktifitasnya untuk membantu meringankan
beban keluarganya, atau saudara-saudara kita yang tidak memiliki kaki yang
lengkap tetapi, tetap melangkahkan kakinya ke jalan yang diridhoi-Nya dan
selalu bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi, meski kaki hanya bertumpu pada
kursi roda ataupun tongkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar