Bogor kembali mendung. Awan berarak menuju tempat bermain
matahari. Titik-titik embun membasahi ranting-ranting patah yang lapuk.
Membanjiri dedaunan yang menggelantung indah di rerimbunan pohon cemara. Ku
lihat matahari kembali tersenyum menyunggingkan senyuman yang begitu aduhai,
hingga ku terbuai bak di pangkuan Ibunda tercinta. Mataku mulai bekerja dengan
baik, kembali beraktifitas memandangi suasana didepan kantor. Gemericik air
hujan masih ku dengar di ujung imajiku, menggema bersama rerintihan angin yang
makin menampar langit. Udara yang lumayan dingin. Lampu-lampu temaram
disepanjang jalan Gatot Subroto seolah-olah melengkapi ukiran fatamorgana yang
ku lihat.
Ku lihat dibalik kaca jendela kantor, ku lihat mobil-mobil
mulai menghiasi jalan yang sesak dan dingin. Jam dinding kantor menunjukkan
pukul delapan tepat. Sebenarnya, ini saat yang tepat untuk pulang kerumah,
tetapi mengingat cuaca yang tidak memungkinkan mengharuskan aku untuk tetap
berada di ruang kerjaku. Pikiran mulai berlari-lari dan merayu-rayu mata untuk
beristrahat, ku urungkan niatku karena kalau aku sampai tertidur dikantor tidak
mungkin aku bisa pulang ke rumah. Sembari mengisi waktu kosong yang ku lewati
selama satu jam, ku gerakkan jari-jariku untuk kembali merampungkan tugas-tugas
kantor yang ku tumpuk selama dua hari.
Sambil menyalakan winamp ku putar lagu untuk mengusir
keheningan malam yang merajai ruangan kerjaku. Setelah, lagu mengitari
sudut-sudut ruang kerjaku, ku buka e-mail ku siapa tahu, ada balasan.
Saat ku buka inbox di email ku, terpampang nama yang tidak asing bagiku.
Nama itu bertuliskan “ Rizka Kasyarani ”. Berparas cantik namun sedikit
manja. Maklum anak satu-satunya. Ia berasal dari keluarga terpandang di Kota
Metropolitan. Perkenalan ku hanya hitungan beberapa tahun, dan tidak
berlangsung lama. Perempuan yang diidolakan oleh kaum Adam seantero kampus.
Kami sama-sama menempuh study di kampus swasta yang ada di Jakarta.
Mengingat
jabatan serta status sosial yang begitu terpandang yang disandangnya. Ayahnya,
seorang pengusaha sukses di Jakarta memiliki banyak proyek khususnya
gedung-gedung perbelanjaan dan memiliki banyak cabang di lima provinsi. Itulah
sekilas profile Rizka yang ku ketahui selama aku satu fakultas dan satu kelas
dengannya. Kini lamunanku mulai menelusuri jalan setapak demi setapak dikala
empat tahun silam. Sejak perkenalan di depan gerbang kampus, nama Rizka
Kasyarani mulai menghantui hatiku dan terngiang-ngiang ditelingaku.
Rizka Kasyarani |
Saat itu,
adalah hari Rabu. Hari yang begitu sedikit menyebalkan untukku dan seluruh
teman-teman sekelasku. Bagaimana tidak, hari ini ruangan kelasku akan terasa
panas dan sesak oleh teriakan keras nan membahana oleh dosen kami yang sangat
berbahaya jika didekati. Dosen kami sangat disiplin. Terlambat satu menit saja
sama dengan absent kuliah satu kali pertemuan. Tragis dan mencengangkan untuk
mahasiswa labil sepertiku. Tiba didepan gerbang kampus, ku langkahkan kaki
dengan seribu langkah, berharap sampai didepan kelas cepat dan tepat waktu.
Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara klakson mobil mengganggu dan
membuyarkan semua khayalan yang tengah ku bangun. “Woooyyyy....mingggiiirrr”
(sambil bunyi klakson dengan sangat keras). Ku menoleh ke belakang, dan kulihat
ada sosok perempuan memakai baju berwarna pink dengan rok mini berwarna merah
jambu. Secepat kilat ku menjawab dan berlari ke pinggir bermaksud memberi jalan
supaya mobilnya bisa lewat. “Maaf...soalnya aku buru-buru”.
Tiba-tiba
perempuan itu tersenyum kepadaku seraya berkata, “Ehh...mas Razka??? Rizka
kira siapa? Buru-buru kenapa?” dengan wajah bingung bercampur kaget “Hmm...itu
loh riz, hari ini kan jam nya Bu Soraya, kalo’ telat satu menit nggak bisa ikut
kuliah kan??” wajah Rizka mulai memerah “Waaahh..aku lupa mas. Ayo naik
ke mobil Rizka aja, supaya nyampek kelas tepat waktu”. Menerima tawarannya
aku mengangguk saja. Semua mahasiswa Fakultas Ekonomi memandangiku dengan wajah
bingung, heran dan ada pula yang kaget dengan nada suara datar “Kok bisa
sich Razka naik mobil mewahnya Rizka??? Apa nggak salah??”. Mendengar
cemoohan murahan, kami berlalu dan meninggalkan tempat itu dan menuju Fakultas
Ekonomi Gedung C. Sesampainya, didepan Gedung C tanpa basa-basi kami langsung
naik ke Gedung C. “Akhirnya nyampek juga” gumamku dalam hati. Dengan
rasa percaya diri yang tinggi, aku dan Rizka tiba-tiba masuk kelas. Dengan
wajah geram dan emosi berkobar-kobar Bu Soraya segera menghentikan langkah
kami. “Heyy..kalian berdua. Enak saja nyelonong masuk. Ini sudah jam
berapa???” dengan santai Rizka menyahut “Jam satu lewat satu menit bu.”
Sambil mengernyitkan dahi Bu Soraya berkata “Dan itu tandanya kalian berdua
tidak bisa masuk kelas dan saya mohon dengan sangat agar kalian berdua keluar
kelas secepatnya, karena perkuliahan akan segera dimulai”. Ternyata benar,
dugaanku tidak meleset. Siang ini, aku telat karena harus menyibukkan diri
untuk berbincang-bincang dengan Rizka (wajah geram). “Baik. Kami keluar.
Makasih banyak bu”.
Mendengar
ucapan yang dilontarkan Razka, kemudian Rizka berusaha untuk melawan dan
membela diri “Bu, kami kan hanya telat satu menit masa’ nggak dikasih
keringanan??? Lagian, ini kan kali pertamanya kami terlambat untuk mata kuliah
ini”. “Kamu tidak ingatm dengan kontrak kuliah yang sudah kita sepakati
bersama di awal pertemuan..???” (dengan wajah yang menyeramkan dan nada
tinggi). “Tapi bu??” Rizka berusaha melawan. “Tapi apa lagi?? Sudah,
sana keluar!!! Waktu mengajar saya berkurang hanya ngurusin kalian berdua..!”
Tinggal selangkah lagi, kaki kami akan meninggalkan ruangan kelas, tiba-tiba Bu
Soraya kembali berkicau “Oya, saran saya untuk kalian berdua. Lain kali,
kalau lagi kuliah telinganya dipasang baik-baik biar kalian tahu jam berapa
kesepakatan kontrak kuliah kita”. Mendengar ucapannya telingaku menjadi
panas dan rasanya akan keluar asap tebal dan hitam dari dalamnya. Seperti
gunung merapi, yang memuntahkan laharnya dan jika itu bisa ingin ku muntahkan
laharnya didepan Gedung C ini. Wajah kami berdua kini tak bersemangat lagi,
yang tersisa hanya emosi yang menggumpal dihati dan sebentar lagi akan mencair
hingga aliran darahku kembali lancar.
Ditengah-tengah
kesunyian melanda kami berdua, Rizka memulai pembicaraan “Udahlah mas, nggak
usah dipikirin lagi. Kan, cuma satu kali bolong kuliahnya???” tanggap ku
menjawabnya “Kamu enak Riz. Nggak perlu banting tulang untuk bayar kuliah.
Sedang, aku harus kerja sambil kuliah untuk membiayai kebutuhanku setiap
harinya” dengan wajah lesu. “Adduuhh,,maaf mas. Aku nggak bermaksud
untuk mengungkit tentang ekonomi keluarganya mas”. “Iya, Nggak apa-apa
kok. Oya, kamu kok manggil aku dengan panggilan Mas Razka sih Riz??” wajah
tersipu malu kembali menghiasi parasnya yang cantik “Hmm,,,soalnya mas Razka
itu dewasa banget, aku melihatnya ada sosok kakak yang aku temui di diri mas
Razka. Soalnya, aku nggak punya saudara mas. Aku anak tunggal, setiap harinya hanya
sendiri aja. Duuhh,,,kok jadi curhat yaa???”.
Angin
sepoi-sepoi meniupkan sehelai rambutnya yang menutupi matanya yang berbinar
dengan bola mata yang menjanjikan keindahan untuk para Adam yang memandanginya.
Mimpiku kembali hidup, disaat ku memimpikan andaikan aku bisa bersanding dengan
Rizka. Tetapi, lagi-lagi status yang ia sandang begitu terpandang dan tentunya
bermartabat tinggi. Sedangkan aku, hanya seorang “ Putra Razka Awwalun ” anak pertama
dari dua bersaudara. Berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayahku hanya
seorang petani di desa dan setiap harinya menggarap sawah tetangga dan
bayarannya pun tak seberapa, untuk makan sehari-hari saja tidak cukup.
Sedangkan Ibuku hanya kuli cuci. Tiap-tiap rumah didatangi berharap, ada yang
mau menerima jasa cuci dari ibuku. Dan adik bungsuku, baru lulus SMA dan tidak
bisa melanjutkan kuliah karena, Orang Tua ku tidak mampu untuk melanjutkan ke
jenjang Perguruan Tinggi karena, biaya yang tidak ada. Tetapi, aku punya
semangat untuk merubah keadaan ku dengan belajar yang sungguh-sungguh dan
berusaha sebaik-baiknya, kelak hasil yang ku dapat semoga bisa meringankan
beban Orang Tuaku.
Razka Putra Awwalun |
“Heeeiiii?? Kok ngelamun sich??” tangan
Rizka menghalangi pandanganku dan mengaburkan khayalanku yang tengah
menari-nari di pikiranku. “Hehehehe...maaf Riz. Alhamdulillah kalo’ Rizka
menganggap aku sebagai kakak. Semoga dapat membawa hal positif untuk hidupmu
yan Riz. Amin.”. “Makasih mas. Oya, mas Razka kok cuek ya sama aku di
kelas padahal kan kita udah lama kenalnya. Dikelas juga mas Razka diam
mulu’,nggak pernah ngajak ngobrol Rizka” Rizka sedikit merayu. “Aku malu
aja Riz, kalo nyapa anak pejabat kayak kamu. Aku hanya orang kampung Riz” nada
datar dan sedikit sedih. “Aaa..hhh..mas Razka bisa aja. Rizka, nggak
beda-beda’in teman kok. Buat Rizka semuanya sama, selama teman Rizka membawa
hal positif untuk Rizka, Why Not???” “Kalo’ nggak bawa hal positif??”
segera ku menyanggah. “Nggak mungkin lah. Aku yakin, setiap diri manusia itu
ada sisi baiknya. Untuk mas Razka sendiri, ada kok sisi itu bahkan banyak
banget” lirih Rizka.
Pertemuan
yang begitu indah sekaligus obrolan panjang yang menyenangkan. Setelah,
berpisah dengan Rizka sore itu, ada perasaan senang bercampur khawatir yang
muncul dalam diriku. Kenapa tidak. Tak pernah aku membayangkan, bisa mengobrol
panjang dan lama bersama perempuan cantik, kaya pula dan berkepribadian luhur
seperti Rizka. Aku termasuk orang beruntung bisa berkenalan lebih jauh dengan
putri konglomerat kaya dan terpandang. Lagi-lagi aku mulai bermimpi untuk
mendapatkan Rizka. Tetapi, mengingat aku berasal dari keluarga biasa-biasa
saja, mana mungkin bisa mendapatkan perempuan seperti Rizka. Aku dan Rizka
ibarat langit dan bumi, begitu jauh dan tak mungkin di satukan. Tetapi, aku
percaya akan kebesaran Ilahi, apa yang tidak mungkin. Semua ada yang mengatur,
begitu pula dengan jodoh seseorang. Dalam setiap, lantunan do’a yang ku
panjatkan diatas sajadah panjangku, aku berdo’a semoga ada perempuan yang mampu
menentramkan hatiku sesejuk mata air ainun mardhiyah hingga
mengantarkan aku ke Surga walau hanya sejengkal hati.
Setelah
pertemuan itu, kami sudah tidak akrab seperti saat pertemuan perdana kami. Aku
tidak mengerti apa alasan Rizka menjauhi ku dan tidak akrab seperti dulu.
Tetapi, aku tidak ambil pusing masalah ini karena teman Rizka bukan hanya aku
tetapi, banyak. Dan tentunya, lebih kaya, tampan dan berpenampilan menarik.
Sampai menjelang acara wisuda, ku rasa itu obrolan terakhir yang pernah aku
lewatkan bersama Rizka. Kini, yang menyapa pertama kali adalah aku. Diantara
ribuan tamu undangan acara wisuda, ku beranikan diri untuk mengucapkan selamat
atas gelar sarjana yang telah diraihnya. Hatiku deg-degan saat mendekat tepat,
dibelakang Rizka. Ku kumpulkan keberanianku untuk memulai percakapan dengannya
dengan mengucapa salam “Assalamu’alaikum Rizka???” dengan memakai kebaya
berwarna hijau lumut, dengan sanggul berhiaskan mawar merah diatasnya dan wangi
parfum keluaran luar negeri menambah indahnya pertemuan kami. “Wa’alaikum
salam” dengan lesung pipi sebelah kanan, dan parasnya yang cantik
melemaskan seluruh saraf-saraf otakku. “Selamat ya atas gelar sarjananya”
“Oh..mas Razka. Iya mas. Makasih ya. Oya, buat mas Razka juga selamat atas
gelar sarjananya.” “Iya sama-sama Riz” jawaban singkat yang mampu ku
ucapkan dihadapannya. Mata Rizka, kini mulai mencari-cari sesuatu dan
sepertinya mencari seseorang “Hmm..mas. Maaf ya, Rizka mau pergi dulu.
Soalnya, udah di telepon sama Papa. Katanya, ada keluarga Rizka yang datang.
Kayaknya mau ada sesi foto-foto dech. Nggak apa-apa kan?? Lain kali kita
sambung lagi obrolannya di lain kesempatan”. Kata-kata itulah yang sampai
hari ini tetap menggenang dihatiku, dan tak akan mengalir ke ujung muara
darahku. Rizka berlalu dan menghilang di ujung kelopak mataku.
Meskipun
Rizka, begitu indah untuk dipandang. Entah kenapa walaupun hatiku luluh bila memandang
wajahnya, tetapi tidak menggetarkan jiwa dan ragaku hingga mengantarkan aku ke
dimensi mimpi yang akan memjembatani aku menuju Surga Rabb ku. Mungkin, karena
ia tidak mengenakan kerudung untuk menutup auratnya, karena jujur saja tipeku
adalah perempuan yang mampu menutup dan menjaga auratnya serta lemah-lembut
dalam bertutur. Andaikan saja, Rizka mengenakan kerudung pasti dia terlihat
jauh lebih cantik dibandingkan saat dia berpakaian mini. Apalagi jika, Rizka
bersanding denganku. Aduhai bersyukurnya diriku karena mendapatkan perempuan
yang nyaris sempurna seperti Rizka.
Lamunanku
terhenti. “Pak. Nggak pulang??? Hujannya sudah reda” seorang Office
Boy mengagetkanku dan membunuh lamunan panjangku empat tahun silam. Embun
hujan kini tlah merayap di bagian kaca dengan tetesan yang sedikit demi
sedikit. Hujan yang mengguyur jalan Gatot Subroto kini tlah reda, hanya
menyisakkan rintik-rintik kecil yang menggelitik badan jalan. Langkah gontai ku
akhirnya sampai juga ditempat parkiran mobilku, segera ku starter mobilku dan
mulai berkelana menyambut licinnya jalan di Gatot Subroto. Perlu waktu sekitar
lima belas menit untuk sampai di rumah dengan sambutan hangat dari Ibunda
tercinta. Sesampai dirumah, terlihat berjajar mobil indah nan mewah sehingga
menambah gemrlap kerlap-kerlip lampu depan. Wajah muram dan lelah, kini berubah
menjadi merah masam, karena menyaksikan segerombol orang tengah
berbincang-bincang hangat ditengah deru angin yang melambai dimalam itu. Rumah
yang sederhana itu, kini dikelilingi oleh beberapa tamu-tamu penting yang
hadir.
Tiba-tiba
suara seorang perempuan paruh baya memecahkan heningnya malam. “Itu orang
yang kita tunggu-tunggu dari tadi”. Mataku tak kuat menatap ke arah sumber
suara tersebut, dan dada terasa sesak, dan takut sebenarnya apa yang terjadi
padaku dan bencana seperti apa yang akan menghujam ragaku. Detik berikutnya,
Ibu ku menarik ku dan mengantarku ke arah tepat, dimana semua orang berkumpul
menunggu kedatanganku. “Nak, semua orang sudah lama menunggumu. Kamu lembur
ya??”. Masih dalam keadaan kikuk, bingung dan bercampur malu ku menjawab
pertanyaan Ibu “Eeehh,,,anu bu. Tadi Razka ketiduran di kantor jadi,
pulangnya telat. Lagian diluar jalanan licin harus hati-hati ditambah lagi
macet yang nggak ada henti-hentinya” begitu panjang cerita yang ku utarakan
pada Ibuku hingga Ibu ku hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ku tatap
satu-persatu orang-orang yang ada disekelilingku, yang ku kenal hanyalah
Ayahku, Ibuku, adikku, dan tanteku. Sedang, yang lainnya aku sama sekali tak
mengenalnya. Kebingungan kini mulai menyelimuti relung hatiku, pertanyaan yang
menggunung pun siap akan ku layankan pada Ayah dan Ibuku, dan bertanya apa yang
terjadi???
“Razka.
Sekarang kamu sudah mendapatkan apa yang kamu cita-citakan. Semua keinginanmu
sudah Ayah dan Ibu iyakan dan sudah kami penuhi. Apapun yang ingin kamu kejar
kami selalu mendukungmu tanpa ada sedikitpun melarangmu, tapi untuk kali ini
saja kau mau menuruti kata-kata dan keinginan yang pertama dan terakhir dari
Ayah dan Ibumu”. Suara lantang terdengar, bersamaan dengan sepoi-sepoi
angin yang menerpa gorden warna hijau yang diterpa angin malam. Aku tercengang
menyaksikan dan mendengar pernyataan dari Ayahku, dengan nada gugup ku coba
untuk menjawab dengan hati yang tenang. “Insya Allah Razka akan menuruti
kemauan dari Ayah dan Ibu, Karena Razka tahu apapun keputusan dari Ayah dan Ibu
adalah keputusan yang paling arif dan tentunya yang akan membuat hidup Razka
menjadi lebih berwarna dan bahagia”. “Baiklah kalau begitu. Ayah dan Ibu
bermaksud untuk menjodohkan kamu dengan teman Ayah. Beliau ini adalah teman
Ayah sejak SD” sambil menunjuk ke arah laki-laki yang kira-kira berumur
sekitar lima puluh tahun lebih. “Beliau adalah teman yang paling mengerti
Ayah waktu kami SD”. Dengan suara yang tegas beliau tiba-tiba memotong
pembicaraan Ayah. “Benar Razka. Saya ini adalah teman akrab Ayahmu. Kenalkan
nama saya Arif Wijaya. Saat saya diajak mampir
kerumah Ayahmu tadi sore, tak sengaja saya melihat fotomu di ruang tamu ini.
Dan muncul perasaan yang teramat dalam untuk menjodohkan kamu dengan putri
bungsu saya.”
Setelah
mendengar pernyataan tersebut, darah saya begitu berdegup dengan kencangnya
dengan intonasi yang tak beraturan dan durasi yang cukup lama. “Ibu
panggilkan dulu Zahira ya nak”. “Zahirah?? Siapa dia???” muncul
pertanyaan demi pertanyaan mulai mengisi otak kananku. Disaat ku tengah asyik
berbincang dengan kebingungan yang tiada habisnya, muncullah seorang perempuan
berparas cantik nan putih, dengan memakai baju panjang berwarna hijau berenda
warna merah muda, dibalut dengan kerudung hijau lumut menambah aduhai. Matanya
yang elok, bak mutiara di gurun Sahara, dagunya yang indah bak sarang lebah
madu hingga senyumnya mampu menggetarkan imanku yang begitu kokoh ini.
Subhanallah. Indah sekali ciptaanmu Ya Rabb. Saat ku menatap wajahnya, hanya
perasaan senang, yang dapat ku lukiskan dari ujung bibirku yang kaku. Dia
begitu sempurna. Namanya, Zahira Dwina Khumairah. Tinggi, putih, matanya
bercahaya, berlesung pipi, berparas cantik, dan seorang lulusan Psikologi yang
pintar di Fakultasnya. Wajahnya yang menawan membuat mataku tertunduk, karena
tak mampu menangkap sinar yang yang bersemayam dimatanya. Ingin ku reguk
manisnya tetapi, aku tak mampu.
Zahira Dwina Khumairah |
Kini, tlah
ku buktikan padamu Ya Rabb. Kau tlah menganugerahkan dia untukku. Dia yang
mampu membuat hatiku bergetar, dia yang tlah sukses untuk menggetarkan seluruh
jiwa, hati serta ragaku hingga mengantarkan aku ke dimensi mimpi yang akan
memjembatani aku menuju Surga Rabb ku. Dia memang, yang aku cari selama ini,
dia yang aku damba melebihi parasnya Rizka Kasyarani yang sempat
meniupkan malaikat cinta yang membantu aku menemukan sebongkah jiwa yang slama
ini ku cari. Ku tancapkan hidupku pada hati seorang perempuan berparas cantik
bernama Zahira Dwina Khumairah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar