Minggu, 05 Februari 2012

Sejengkal Hati Menuju Surga

       Bogor kembali mendung. Awan berarak menuju tempat bermain matahari. Titik-titik embun membasahi ranting-ranting patah yang lapuk. Membanjiri dedaunan yang menggelantung indah di rerimbunan pohon cemara. Ku lihat matahari kembali tersenyum menyunggingkan senyuman yang begitu aduhai, hingga ku terbuai bak di pangkuan Ibunda tercinta. Mataku mulai bekerja dengan baik, kembali beraktifitas memandangi suasana didepan kantor. Gemericik air hujan masih ku dengar di ujung imajiku, menggema bersama rerintihan angin yang makin menampar langit. Udara yang lumayan dingin. Lampu-lampu temaram disepanjang jalan Gatot Subroto seolah-olah melengkapi ukiran fatamorgana yang ku lihat.
        Ku lihat dibalik kaca jendela kantor, ku lihat mobil-mobil mulai menghiasi jalan yang sesak dan dingin. Jam dinding kantor menunjukkan pukul delapan tepat. Sebenarnya, ini saat yang tepat untuk pulang kerumah, tetapi mengingat cuaca yang tidak memungkinkan mengharuskan aku untuk tetap berada di ruang kerjaku. Pikiran mulai berlari-lari dan merayu-rayu mata untuk beristrahat, ku urungkan niatku karena kalau aku sampai tertidur dikantor tidak mungkin aku bisa pulang ke rumah. Sembari mengisi waktu kosong yang ku lewati selama satu jam, ku gerakkan jari-jariku untuk kembali merampungkan tugas-tugas kantor yang ku tumpuk selama dua hari.
        Sambil menyalakan winamp ku putar lagu untuk mengusir keheningan malam yang merajai ruangan kerjaku. Setelah, lagu mengitari sudut-sudut ruang kerjaku, ku buka e-mail ku siapa tahu, ada balasan. Saat ku buka inbox di email ku, terpampang nama yang tidak asing bagiku. Nama itu bertuliskan “ Rizka Kasyarani ”. Berparas cantik namun sedikit manja. Maklum anak satu-satunya. Ia berasal dari keluarga terpandang di Kota Metropolitan. Perkenalan ku hanya hitungan beberapa tahun, dan tidak berlangsung lama. Perempuan yang diidolakan oleh kaum Adam seantero kampus. Kami sama-sama menempuh study di kampus swasta yang ada di Jakarta.
Mengingat jabatan serta status sosial yang begitu terpandang yang disandangnya. Ayahnya, seorang pengusaha sukses di Jakarta memiliki banyak proyek khususnya gedung-gedung perbelanjaan dan memiliki banyak cabang di lima provinsi. Itulah sekilas profile Rizka yang ku ketahui selama aku satu fakultas dan satu kelas dengannya. Kini lamunanku mulai menelusuri jalan setapak demi setapak dikala empat tahun silam. Sejak perkenalan di depan gerbang kampus, nama Rizka Kasyarani mulai menghantui hatiku dan terngiang-ngiang ditelingaku. 
Rizka Kasyarani
Saat itu, adalah hari Rabu. Hari yang begitu sedikit menyebalkan untukku dan seluruh teman-teman sekelasku. Bagaimana tidak, hari ini ruangan kelasku akan terasa panas dan sesak oleh teriakan keras nan membahana oleh dosen kami yang sangat berbahaya jika didekati. Dosen kami sangat disiplin. Terlambat satu menit saja sama dengan absent kuliah satu kali pertemuan. Tragis dan mencengangkan untuk mahasiswa labil sepertiku. Tiba didepan gerbang kampus, ku langkahkan kaki dengan seribu langkah, berharap sampai didepan kelas cepat dan tepat waktu. Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara klakson mobil mengganggu dan membuyarkan semua khayalan yang tengah ku bangun. Woooyyyy....mingggiiirrr (sambil bunyi klakson dengan sangat keras). Ku menoleh ke belakang, dan kulihat ada sosok perempuan memakai baju berwarna pink dengan rok mini berwarna merah jambu. Secepat kilat ku menjawab dan berlari ke pinggir bermaksud memberi jalan supaya mobilnya bisa lewat. Maaf...soalnya aku buru-buru.
Tiba-tiba perempuan itu tersenyum kepadaku seraya berkata, Ehh...mas Razka??? Rizka kira siapa? Buru-buru kenapa? dengan wajah bingung bercampur kaget Hmm...itu loh riz, hari ini kan jam nya Bu Soraya, kalo’ telat satu menit nggak bisa ikut kuliah kan?? wajah Rizka mulai memerah Waaahh..aku lupa mas. Ayo naik ke mobil Rizka aja, supaya nyampek kelas tepat waktu. Menerima tawarannya aku mengangguk saja. Semua mahasiswa Fakultas Ekonomi memandangiku dengan wajah bingung, heran dan ada pula yang kaget dengan nada suara datar Kok bisa sich Razka naik mobil mewahnya Rizka??? Apa nggak salah??. Mendengar cemoohan murahan, kami berlalu dan meninggalkan tempat itu dan menuju Fakultas Ekonomi Gedung C. Sesampainya, didepan Gedung C tanpa basa-basi kami langsung naik ke Gedung C. Akhirnya nyampek juga gumamku dalam hati. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku dan Rizka tiba-tiba masuk kelas. Dengan wajah geram dan emosi berkobar-kobar Bu Soraya segera menghentikan langkah kami. Heyy..kalian berdua. Enak saja nyelonong masuk. Ini sudah jam berapa???dengan santai Rizka menyahut Jam satu lewat satu menit bu.Sambil mengernyitkan dahi Bu Soraya berkata Dan itu tandanya kalian berdua tidak bisa masuk kelas dan saya mohon dengan sangat agar kalian berdua keluar kelas secepatnya, karena perkuliahan akan segera dimulai. Ternyata benar, dugaanku tidak meleset. Siang ini, aku telat karena harus menyibukkan diri untuk berbincang-bincang dengan Rizka (wajah geram). Baik. Kami keluar. Makasih banyak bu.
Mendengar ucapan yang dilontarkan Razka, kemudian Rizka berusaha untuk melawan dan membela diri Bu, kami kan hanya telat satu menit masa’ nggak dikasih keringanan??? Lagian, ini kan kali pertamanya kami terlambat untuk mata kuliah ini. Kamu tidak ingatm dengan kontrak kuliah yang sudah kita sepakati bersama di awal pertemuan..??? (dengan wajah yang menyeramkan dan nada tinggi). Tapi bu?? Rizka berusaha melawan. Tapi apa lagi?? Sudah, sana keluar!!! Waktu mengajar saya berkurang hanya ngurusin kalian berdua..! Tinggal selangkah lagi, kaki kami akan meninggalkan ruangan kelas, tiba-tiba Bu Soraya kembali berkicau Oya, saran saya untuk kalian berdua. Lain kali, kalau lagi kuliah telinganya dipasang baik-baik biar kalian tahu jam berapa kesepakatan kontrak kuliah kita. Mendengar ucapannya telingaku menjadi panas dan rasanya akan keluar asap tebal dan hitam dari dalamnya. Seperti gunung merapi, yang memuntahkan laharnya dan jika itu bisa ingin ku muntahkan laharnya didepan Gedung C ini. Wajah kami berdua kini tak bersemangat lagi, yang tersisa hanya emosi yang menggumpal dihati dan sebentar lagi akan mencair hingga aliran darahku kembali lancar.
Ditengah-tengah kesunyian melanda kami berdua, Rizka memulai pembicaraan Udahlah mas, nggak usah dipikirin lagi. Kan, cuma satu kali bolong kuliahnya??? tanggap ku menjawabnya Kamu enak Riz. Nggak perlu banting tulang untuk bayar kuliah. Sedang, aku harus kerja sambil kuliah untuk membiayai kebutuhanku setiap harinya dengan wajah lesu. Adduuhh,,maaf mas. Aku nggak bermaksud untuk mengungkit tentang ekonomi keluarganya mas. Iya, Nggak apa-apa kok. Oya, kamu kok manggil aku dengan panggilan Mas Razka sih Riz??wajah tersipu malu kembali menghiasi parasnya yang cantik Hmm,,,soalnya mas Razka itu dewasa banget, aku melihatnya ada sosok kakak yang aku temui di diri mas Razka. Soalnya, aku nggak punya saudara mas. Aku anak tunggal, setiap harinya hanya sendiri aja. Duuhh,,,kok jadi curhat yaa???.
Angin sepoi-sepoi meniupkan sehelai rambutnya yang menutupi matanya yang berbinar dengan bola mata yang menjanjikan keindahan untuk para Adam yang memandanginya. Mimpiku kembali hidup, disaat ku memimpikan andaikan aku bisa bersanding dengan Rizka. Tetapi, lagi-lagi status yang ia sandang begitu terpandang dan tentunya bermartabat tinggi. Sedangkan aku, hanya seorang  Putra Razka Awwalun ” anak pertama dari dua bersaudara. Berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayahku hanya seorang petani di desa dan setiap harinya menggarap sawah tetangga dan bayarannya pun tak seberapa, untuk makan sehari-hari saja tidak cukup. Sedangkan Ibuku hanya kuli cuci. Tiap-tiap rumah didatangi berharap, ada yang mau menerima jasa cuci dari ibuku. Dan adik bungsuku, baru lulus SMA dan tidak bisa melanjutkan kuliah karena, Orang Tua ku tidak mampu untuk melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi karena, biaya yang tidak ada. Tetapi, aku punya semangat untuk merubah keadaan ku dengan belajar yang sungguh-sungguh dan berusaha sebaik-baiknya, kelak hasil yang ku dapat semoga bisa meringankan beban Orang Tuaku.
Razka Putra Awwalun
 Heeeiiii?? Kok ngelamun sich?? tangan Rizka menghalangi pandanganku dan mengaburkan khayalanku yang tengah menari-nari di pikiranku. Hehehehe...maaf Riz. Alhamdulillah kalo’ Rizka menganggap aku sebagai kakak. Semoga dapat membawa hal positif untuk hidupmu yan Riz. Amin.. Makasih mas. Oya, mas Razka kok cuek ya sama aku di kelas padahal kan kita udah lama kenalnya. Dikelas juga mas Razka diam mulu’,nggak pernah ngajak ngobrol Rizka Rizka sedikit merayu. Aku malu aja Riz, kalo nyapa anak pejabat kayak kamu. Aku hanya orang kampung Riznada datar dan sedikit sedih. Aaa..hhh..mas Razka bisa aja. Rizka, nggak beda-beda’in teman kok. Buat Rizka semuanya sama, selama teman Rizka membawa hal positif untuk Rizka, Why Not??? Kalo’ nggak bawa hal positif?? segera ku menyanggah. Nggak mungkin lah. Aku yakin, setiap diri manusia itu ada sisi baiknya. Untuk mas Razka sendiri, ada kok sisi itu bahkan banyak bangetlirih Rizka.
Pertemuan yang begitu indah sekaligus obrolan panjang yang menyenangkan. Setelah, berpisah dengan Rizka sore itu, ada perasaan senang bercampur khawatir yang muncul dalam diriku. Kenapa tidak. Tak pernah aku membayangkan, bisa mengobrol panjang dan lama bersama perempuan cantik, kaya pula dan berkepribadian luhur seperti Rizka. Aku termasuk orang beruntung bisa berkenalan lebih jauh dengan putri konglomerat kaya dan terpandang. Lagi-lagi aku mulai bermimpi untuk mendapatkan Rizka. Tetapi, mengingat aku berasal dari keluarga biasa-biasa saja, mana mungkin bisa mendapatkan perempuan seperti Rizka. Aku dan Rizka ibarat langit dan bumi, begitu jauh dan tak mungkin di satukan. Tetapi, aku percaya akan kebesaran Ilahi, apa yang tidak mungkin. Semua ada yang mengatur, begitu pula dengan jodoh seseorang. Dalam setiap, lantunan do’a yang ku panjatkan diatas sajadah panjangku, aku berdo’a semoga ada perempuan yang mampu menentramkan hatiku sesejuk mata air ainun mardhiyah hingga mengantarkan aku ke Surga walau hanya sejengkal hati.
Setelah pertemuan itu, kami sudah tidak akrab seperti saat pertemuan perdana kami. Aku tidak mengerti apa alasan Rizka menjauhi ku dan tidak akrab seperti dulu. Tetapi, aku tidak ambil pusing masalah ini karena teman Rizka bukan hanya aku tetapi, banyak. Dan tentunya, lebih kaya, tampan dan berpenampilan menarik. Sampai menjelang acara wisuda, ku rasa itu obrolan terakhir yang pernah aku lewatkan bersama Rizka. Kini, yang menyapa pertama kali adalah aku. Diantara ribuan tamu undangan acara wisuda, ku beranikan diri untuk mengucapkan selamat atas gelar sarjana yang telah diraihnya. Hatiku deg-degan saat mendekat tepat, dibelakang Rizka. Ku kumpulkan keberanianku untuk memulai percakapan dengannya dengan mengucapa salam Assalamu’alaikum Rizka??? dengan memakai kebaya berwarna hijau lumut, dengan sanggul berhiaskan mawar merah diatasnya dan wangi parfum keluaran luar negeri menambah indahnya pertemuan kami. Wa’alaikum salam dengan lesung pipi sebelah kanan, dan parasnya yang cantik melemaskan seluruh saraf-saraf otakku. Selamat ya atas gelar sarjananya Oh..mas Razka. Iya mas. Makasih ya. Oya, buat mas Razka juga selamat atas gelar sarjananya. Iya sama-sama Riz jawaban singkat yang mampu ku ucapkan dihadapannya. Mata Rizka, kini mulai mencari-cari sesuatu dan sepertinya mencari seseorang Hmm..mas. Maaf ya, Rizka mau pergi dulu. Soalnya, udah di telepon sama Papa. Katanya, ada keluarga Rizka yang datang. Kayaknya mau ada sesi foto-foto dech. Nggak apa-apa kan?? Lain kali kita sambung lagi obrolannya di lain kesempatan. Kata-kata itulah yang sampai hari ini tetap menggenang dihatiku, dan tak akan mengalir ke ujung muara darahku. Rizka berlalu dan menghilang di ujung kelopak mataku.
Meskipun Rizka, begitu indah untuk dipandang. Entah kenapa walaupun hatiku luluh bila memandang wajahnya, tetapi tidak menggetarkan jiwa dan ragaku hingga mengantarkan aku ke dimensi mimpi yang akan memjembatani aku menuju Surga Rabb ku. Mungkin, karena ia tidak mengenakan kerudung untuk menutup auratnya, karena jujur saja tipeku adalah perempuan yang mampu menutup dan menjaga auratnya serta lemah-lembut dalam bertutur. Andaikan saja, Rizka mengenakan kerudung pasti dia terlihat jauh lebih cantik dibandingkan saat dia berpakaian mini. Apalagi jika, Rizka bersanding denganku. Aduhai bersyukurnya diriku karena mendapatkan perempuan yang nyaris sempurna seperti Rizka.
Lamunanku terhenti. Pak. Nggak pulang??? Hujannya sudah redaseorang Office Boy mengagetkanku dan membunuh lamunan panjangku empat tahun silam. Embun hujan kini tlah merayap di bagian kaca dengan tetesan yang sedikit demi sedikit. Hujan yang mengguyur jalan Gatot Subroto kini tlah reda, hanya menyisakkan rintik-rintik kecil yang menggelitik badan jalan. Langkah gontai ku akhirnya sampai juga ditempat parkiran mobilku, segera ku starter mobilku dan mulai berkelana menyambut licinnya jalan di Gatot Subroto. Perlu waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di rumah dengan sambutan hangat dari Ibunda tercinta. Sesampai dirumah, terlihat berjajar mobil indah nan mewah sehingga menambah gemrlap kerlap-kerlip lampu depan. Wajah muram dan lelah, kini berubah menjadi merah masam, karena menyaksikan segerombol orang tengah berbincang-bincang hangat ditengah deru angin yang melambai dimalam itu. Rumah yang sederhana itu, kini dikelilingi oleh beberapa tamu-tamu penting yang hadir.
Tiba-tiba suara seorang perempuan paruh baya memecahkan heningnya malam. Itu orang yang kita tunggu-tunggu dari tadi. Mataku tak kuat menatap ke arah sumber suara tersebut, dan dada terasa sesak, dan takut sebenarnya apa yang terjadi padaku dan bencana seperti apa yang akan menghujam ragaku. Detik berikutnya, Ibu ku menarik ku dan mengantarku ke arah tepat, dimana semua orang berkumpul menunggu kedatanganku. Nak, semua orang sudah lama menunggumu. Kamu lembur ya??. Masih dalam keadaan kikuk, bingung dan bercampur malu ku menjawab pertanyaan Ibu Eeehh,,,anu bu. Tadi Razka ketiduran di kantor jadi, pulangnya telat. Lagian diluar jalanan licin harus hati-hati ditambah lagi macet yang nggak ada henti-hentinya begitu panjang cerita yang ku utarakan pada Ibuku hingga Ibu ku hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ku tatap satu-persatu orang-orang yang ada disekelilingku, yang ku kenal hanyalah Ayahku, Ibuku, adikku, dan tanteku. Sedang, yang lainnya aku sama sekali tak mengenalnya. Kebingungan kini mulai menyelimuti relung hatiku, pertanyaan yang menggunung pun siap akan ku layankan pada Ayah dan Ibuku, dan bertanya apa yang terjadi???
Razka. Sekarang kamu sudah mendapatkan apa yang kamu cita-citakan. Semua keinginanmu sudah Ayah dan Ibu iyakan dan sudah kami penuhi. Apapun yang ingin kamu kejar kami selalu mendukungmu tanpa ada sedikitpun melarangmu, tapi untuk kali ini saja kau mau menuruti kata-kata dan keinginan yang pertama dan terakhir dari Ayah dan Ibumu. Suara lantang terdengar, bersamaan dengan sepoi-sepoi angin yang menerpa gorden warna hijau yang diterpa angin malam. Aku tercengang menyaksikan dan mendengar pernyataan dari Ayahku, dengan nada gugup ku coba untuk menjawab dengan hati yang tenang. Insya Allah Razka akan menuruti kemauan dari Ayah dan Ibu, Karena Razka tahu apapun keputusan dari Ayah dan Ibu adalah keputusan yang paling arif dan tentunya yang akan membuat hidup Razka menjadi lebih berwarna dan bahagia. Baiklah kalau begitu. Ayah dan Ibu bermaksud untuk menjodohkan kamu dengan teman Ayah. Beliau ini adalah teman Ayah sejak SD sambil menunjuk ke arah laki-laki yang kira-kira berumur sekitar lima puluh tahun lebih. Beliau adalah teman yang paling mengerti Ayah waktu kami SD. Dengan suara yang tegas beliau tiba-tiba memotong pembicaraan Ayah. Benar Razka. Saya ini adalah teman akrab Ayahmu. Kenalkan nama saya Arif Wijaya. Saat saya  diajak mampir kerumah Ayahmu tadi sore, tak sengaja saya melihat fotomu di ruang tamu ini. Dan muncul perasaan yang teramat dalam untuk menjodohkan kamu dengan putri bungsu saya.
Setelah mendengar pernyataan tersebut, darah saya begitu berdegup dengan kencangnya dengan intonasi yang tak beraturan dan durasi yang cukup lama. Ibu panggilkan dulu Zahira ya nak. Zahirah?? Siapa dia??? muncul pertanyaan demi pertanyaan mulai mengisi otak kananku. Disaat ku tengah asyik berbincang dengan kebingungan yang tiada habisnya, muncullah seorang perempuan berparas cantik nan putih, dengan memakai baju panjang berwarna hijau berenda warna merah muda, dibalut dengan kerudung hijau lumut menambah aduhai. Matanya yang elok, bak mutiara di gurun Sahara, dagunya yang indah bak sarang lebah madu hingga senyumnya mampu menggetarkan imanku yang begitu kokoh ini. Subhanallah. Indah sekali ciptaanmu Ya Rabb. Saat ku menatap wajahnya, hanya perasaan senang, yang dapat ku lukiskan dari ujung bibirku yang kaku. Dia begitu sempurna. Namanya, Zahira Dwina Khumairah. Tinggi, putih, matanya bercahaya, berlesung pipi, berparas cantik, dan seorang lulusan Psikologi yang pintar di Fakultasnya. Wajahnya yang menawan membuat mataku tertunduk, karena tak mampu menangkap sinar yang yang bersemayam dimatanya. Ingin ku reguk manisnya tetapi, aku tak mampu.
Zahira Dwina Khumairah
Kini, tlah ku buktikan padamu Ya Rabb. Kau tlah menganugerahkan dia untukku. Dia yang mampu membuat hatiku bergetar, dia yang tlah sukses untuk menggetarkan seluruh jiwa, hati serta ragaku hingga mengantarkan aku ke dimensi mimpi yang akan memjembatani aku menuju Surga Rabb ku. Dia memang, yang aku cari selama ini, dia yang aku damba melebihi parasnya Rizka Kasyarani yang sempat meniupkan malaikat cinta yang membantu aku menemukan sebongkah jiwa yang slama ini ku cari. Ku tancapkan hidupku pada hati seorang perempuan berparas cantik bernama Zahira Dwina Khumairah.



Tidak ada komentar: